Translate

Jumat, 03 November 2017

Ketika Festival Budaya Telah Usai (文化祭が終わったとき)

Bunkasai ga Owatta Toki
(When The Cultural Festival is Over)
            “Mika!”
            “Mika!”
            “MIKAAAAA!!!”
            Aku tersentak dari lamunanku. Aku mendapati pemilik suara ultrasonik itu sudah berada di depanku. Tangannya mengulurkan susu vanila padaku. Matanya yang keren itu terlihat sebal padaku.
            “Kamu masih belum menyatakan perasaanmu pada Kenji-senpai?” tanyanya. Rupanya dia tahu kalau sedari tadi aku memperhatikan seorang kakak kelas yang pernah kukagumi sedang berjalan di koridor dari jendela sampingku.
            “Hei, Yukihiro! Kamu sendiri belum menampakkan dirimu pada Tachibana-san, bukan? Perhatikan dulu dirimu baru menasehati orang lain,” jawabku dengan wajah datar.
            “Sudah, sudah! Kalian berdua setiap hari kerjaannya bertengkar terus. Nih, aku kasih pekerjaan buat kalian berdua!” Keichiro, ketua kelasku meletakkan empat buah kantong besar yang isinya apalagi kalau bukan sampah.
oOo
            “Gara-gara kamu aku harus ikut buang sampah. Harusnya aku ikut bagian promosi saja agar aku bisa membagikan brosur pada Tachibana-san,” keluh Yukihiro selama perjalanan kami ke tempat pembuangan sampah.
            Kami segera kembali ke kelas setelah membuang sampah-sampah tersebut. Saat aku membalikkan tubuhku, aku mendapati wajah yang pernah  kukagumi setahun yang lalu, Kenji-senpai.
            “Oh! Kenji-senpai!” sapa Yukihiro pada Kenji-senpai. Mereka adalah teman satu klub, klub sepak bola.
            “Oh! Hai, Yukihiro-kun!” sapa Kenji-senpai yang tak lama menatapku lalu kembali menatap Yukihiro.
            “Jangan salah paham dulu, senpai. Dia hanya teman sekelasku,” ucap Yukihiro.
            “Halo senpai, salam kenal. Namaku Furukawa Mika. Aku hanya teman sekelasnya Yukihiro,” aku dan Kenji-senpai berjabat tangan tanda perkenalan.
            “Halo juga, Furukawa-san. Namaku Tanaka Kenji. Salam kenal juga,” Kenji-senpai tersenyum padaku. Senyum yang tidak berarti apa-apa.
            “Ya sudah, senpai. Kita mau kembali ke kelas dulu. Sampai bertemu nanti.” Aku dan Yukihiro segera kembali ke kelas.
oOo
            Waktu makan siang telah tiba. Aku dan dua sahabatku, Mayu dan Cloe, makan bersama di bawah pohon sakura belakang sekolah. Sayangnya, di musim gugur seperti ini pohon sakura tidak memperlihatkan keindahannya.
            “Eh, ada yang kenal dengan adik kelas yang namanya Tachibana Sana, tidak?” tanyaku tiba-tiba sambil melahap sosis dan nasiku.
            “Oh, dia?! Aku kenal kok, dia adik kelasku saat di sekolah menengah,” jawab Cloe.
            “Oh ya?! Kamu pendiam seperti ini ternyata punya banyak informasi, ya” ledekku.
            “Haha… iya, dong. Kenapa dengan dia?” tanya Cloe.
            “Tidak apa-apa. Hanya saja dia cantik.” Bibirku memuji adik kelas itu, tapi hatiku berkata yang sebaliknya karena iri.
            “Iya, sih, tapi dia sudah punya pacar,” ucap Mayu sembari meneguk soda yang baru saja ia beli dari vending machine.
            “Hah?! Dia sudah punya pacar?! Siapa?” tanyaku yang sangat ingin tahu.
            “Kamu kenapa sih, Mika?! Tanya terus daritadi,” ucap Cloe agak kesal padaku. Tapi beberapa saat ia menjawab pertanyaanku. “Iya, kamu tahu Kenji-senpai? Ketua klub sepak bola. Dia pacaran dengan Tachibana-san sudah sekitar tiga bulan yang lalu sampai sekarang,”
            Beberapa detik aku terdiam. Aku membayangkan tentang bagaimana perasaan Yukihiro saat dia mengetahui ini. Apakah aku harus memberitahunya? Atau aku biarkan dia tahu sendiri? Mana yang akan memberikan lebih sedikit rasa sakit di hatinya?
oOo
            Pukul 06.18 sore.
            Beberapa anak sudah berlarian menuju aula sekolah untuk menikmati pertunjukan berupa band, drama, dance, dan sebagainya, tak terkecuali aku. Namun, aku pergi sendiri. Yukihiro telah pergi ke aula lebih dulu. Lalu Mayu pergi dengan Yoga-senpai sedangkan Cloe pergi dengan pacarnya.
            Setelah enam jam berlalu, acara tersebut usai. Namun, ada bonus acara dari panitia. Lampu di aula dimatikan. Hanya ada sebuah lampu bundar yang bergerak-gerak beberapa saat lalu berhenti di sebuah tempat. Lampu tersebut menyoroti sepasang insan yang sedang bergandengan tangan. Kerumunan orang di aula yang tadinya ramai mendadak sepi. Mereka semua menoleh ke arah sorotan lampu tersebut.
            “Selamat kepada kalian berdua!!! Mereka adalah The Most Wanted Couple of The Year!!!” Ucap MC diiringi tepuk tangan dan sorakan yang memenuhi aula. Kelopak-kelopak bunga mawar dijatuhkan dari atas aula. Kelopak-kelopak tersebut beterbangan menuju seluruh aula. Memperindah hati yang sedang bahagia. Menjadi pelipur lara bagi hati yang sedang patah.
            “Yukihiro!” Aku menyerukan namanya sesaat setelah bayangannya tertangkap oleh mataku di pintu keluar. Aku segera berlari menuju arahnya. Aku terus berlari mengikutinya. Tidak ada perubahan jarak di antara kita. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang sedikit bergetar. Apakah dia menangis? Tidak mungkin.
            Tak berapa lama, dia berhenti berlari. Aku mencoba beradaptasi dengan tempat ini. Tidak ada seorangpun di atap sekolah ini. Beberapa detik kita gunakan hanya untuk diam dan mengembalikan energi yang kita gunakan untuk berlari.
            “Gomenne, Yukihiro-kun,” hanya kata itu yang bisa kuucapkan.
            “Aku tidak memberitahumu kalau Kenji-senpai dan Tachibana-san berpacaran,” lanjutku.
            Pukul 11.59 malam.
            “Aku takut kalau kamu menganggapku bohong lalu menjauhiku. Aku takut itu membuatmu patah hati. Tapi sekarang aku sadar, justru saat kamu mengetahui sendiri kamu lebih patah hati. Gomenne, Yukihiro-kun.” Aku terus menerus menyalahkan diriku sendiri.
            Pukul 00.00 malam.
            Kembang api meluncur bebas di langit malam sebagai akhir dari festival budaya tahun ini. Kembang api yang indah itu tak dapat kuakui keindahannya. Hanya karena hatiku begitu hancur untuk pertama kalinya melihat Yukihiro menangis. Aku hanya dapat menundukkan kepalaku sambil menahan rasa sesak di dadaku.
            “Mika!” Suara yang memanggilku itu terasa bergetar. Aku masih menundukkan kepalaku tak berani menatap mata sedihnya.
            Tiba-tiba tangannya yang besar menyentuh pipiku. Perlahan-lahan mendongakkan kepalaku hingga aku bisa menatap matanya. Dia mencoba senyum semampunya. Aku membalas senyum itu meskipun aku tahu bahwa senyum itu tak setulus biasanya.
            “Yukihiro-kun! Watashi wa kimi ga suki desu!” aku tak tahu apa yang kuucapkan barusan.
            “Nani?” Yukihiro agak terkejut mendengarnya.
            “Aku menyukaimu, Yukihiro-kun. Tolong jangan bersedih hanya karena orang lain. Tolong tersenyumlah seperti biasanya. Tolong tersenyum demi aku.” Perlahan kupeluk tubuhnya yang dingin akibat angina musim gugur.
            “Tolong jaga aku, Mika-chan. Tolong buat hariku lebih berwarna dari sebelumnya. Yoroshikune, Mika-chan,”

            “Hai, Yukihiro-kun,”