Translate

Jumat, 04 Maret 2016

Haru no Dai hachi (Musim Semi Kedelapan) 春 の 第八


Musim semi pertama di masa remajaku.
            Aku mengenalmu. Kita dalam satu kelas yang sama di sekolah menengah. Pada semester dua, kamu duduk di sebelahku. Kita mulai dekat. Menghabiskan libur musim panas dengan pelajaran tambahan bersama. Menghabiskan liburan musim dingin dengan bermain sky denganmu. Melihat hanabi bersama saat tahun baru. Mengikuti Hari Olahraga denganmu juga. Masih banyak lagi hal-hal yang kita lakukan bersama.
Musim semi kedua.
            “Hei, lihat ke papan pengumuman! Kita satu kelas lagi, lohh…” saat kamu bilang begitu, aku sangat sangat sangat senang. Bahkan, jika ada kata yang lebih baik dari senang, aku akan mengatakannya. Aku mulai popular di kalangan siswa-siswa. Gossip-gosip tentang aku dan dirimu sedang gempar di sekolah. Gosipnya tentang aku yang sedang dekat dengan otaku culun. Aku tahu, yang mereka maksud adalah kamu. Kamu yang suka sekali dengan anime yang mereka sebut otaku culun. Mungkin juga, gossip itu menyakiti perasaanmu. Hingga kamu perlahan menjauh seiring meredanya gossip itu.
Musim semi ketiga.
            “Oi! Selamat, ya. Kamu masuk grade A. Kali ini kita tidak sekelas lagi. Aku ada di grade F!” saat itu aku kaget. Bagaimana mungkin kamu berada di grade terburuk di sekolah?! Nilai kenaikan kelasmu padahal lebih tinggi daripada aku. Apa kamu melakukan semua ini semata-mata untuk menjauhiku?! Kalau iya, lebih baik aku saja yang menjauhimu. Kamu cukup diam di tempatmu semula.
            Aku lost contact denganmu hingga hari kelulusan tiba. Pengumuman siswa dengan nilai terbaik telah diumumkan. Hasilnya adalah aku. Aku sebagai murid terbaik di sekolah terbaik juga. Aku melakukan ini agar bisa satu SMA denganmu. Jika nilaiku baik, aku bisa dengan mudah memasuki semua SMA di Osaka.
Musim semi keempat.
            Hari pertama di sekolah tingkat atas. Pada upacara penerimaan murid baru, aku kembali menjadi murid dengan nilai terbaik pada tes penerimaan. Lalu, ketika aku berpidato, aku tidak menemukan dirimu walaupun aku sudah mengedarkan pandangan berpuluh-puluh kali. Padahal, menurut gossip yang kudengar, kamu akan sekolah di SMA ini.
Musim semi kelima.
            Musim semi kedua tanpamu. Kamu dimana? Aku masih tidak mendapat kabar apapun tentangmu. Tolong, jangan membuatku menjalani hidup dengan penuh penasaran seperti ini.
Musim semi keenam.
            Saat itu, aku sudah kelah 3 di grade A. Teman-teman SMP seangkatan berencana untuk reuni. Aku harap kamu ikut reun juga sepertiku.
            Sial! Ternyata kamu tidak ikut reuni angkatan kita. Akan tetapi, aku mendapat kabar tentangmu dari teman-teman. Kata mereka, kamu sekarang tinggal di Hokkaido, ya?! Jauh sekali!
Musim semi ketujuh.
            Aku mulai sibuk dengan kegiatan kuliah dan pekerjaan part-time ku. Aku bahkan tidak mencari kabar tentangmu lagi.
Musim semi kedelapan.
            Kamu tahu, sekarang, di musim semi kedelapan ini, aku telah berhasil menggapai dua impianku, loh… aku menjadi tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit di Tokyo dan membangun sebuah maid caffe. Tapi, aku masih menunggumu. Sudah delapan musim semi aku lalui tanpa kekasih. Besok aku akan ke Hokkaido. Aku sudah mengetahui alamat lengkap rumahmu. Tunggu aku ya…
            Aku telah berada di sebuah rumah bergaya Jepang tradisional. Aku yakin ini adalah tempat tinggalmu bersama nenek. “Permisi…”. Seorang wanita paruh baya menghampiriku. Aku menanyakan apakah ini rumahmu dan dimana kamu berada. Namun, wanita itu menatapku dengan sayu. Dia mempersilahkanku masuk. Dia mengantarku ke sebuah ruangan di bagian belakang rumah. Ruangan tersebut berbentuk altar. Terdapat kertas putih yang menempel di pintu. Aku berdiri di tengah altar dengan air mata yang mengalir sangat lamban. Di satu sisi ruangan terdapat lukisan dewa. Di depanku saat ini terdapat Makura-kanzari yang diberi alas kain berwarna putih. Di atasnya terdapat sebuah guci dengan abu kremasi. Di sekelilingnya diberi bunga, dupa, lilin yang menyala, semangkok nasi, dan air. Lalu, aku mengamati sebuah kertas yang ditempel di dinding sebelah Makura-kanzari itu, “Beristirahatlah dengan tenang” lalu kertas yang lain, “Kobayashi Tsukasa”. Air mataku mengalir lebih deras dari sebelumnya.


            Di musim semi kedelapan ini aku berdoa untukmu. Untukmu yang telah meninggalkanku lebih lama dari yang kukira. Bahkan, kamu pergi sebelum aku sempat mengatakan bahwa aku menyukaimu…